Kamis, 04 November 2010

MEMAJUKAN DEMOKRASI DALAM PEMBANGUNAN POLITIK DI INDONESIA


ABSTRAK
Makalah ini berjudul “Memajukan Demokrasi Dalam Pembangunan Politik Di Indonesia”. Hal ini dilatar belakangi karena hingga saat ini, demokrasi adalah nilai-nilai politik yang disepakati bisa menjamin tersalurnya pertisipasi politik rakyat. Dalam pandangan banyak orang muncul asumsi bahwa satu-satunya bentuk pembangunan politik yang bermakna adalah pembinaan demokrasi. Sumber data diperoleh melalui studi pustaka dan dokumentasi.
Semua ini membawa kita pada persoalan pandangan bahwa pembangunan politik itu seharusnya sama dengan diciptanya lembaga-lembaga dan praktek-praktek demokrasi. Partisipasi rakyat dalam politik tentulah sangat dibutuhkan oleh negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokratis. Pendidikan politik rakyat, menurut merupakan unsur yang sangat penting bahkan menjadi titik sentral pembangunan politik. Karena hal itu berguna untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan berpolitik rakyat. Namun demikian, pada dataran praksis, upaya-upaya untuk menciptakan kehidupan politik yang demokratis tidak sedikit mengundang perdebatan, menyangkut strategi pengembangannya.
Selain itu, dalam iklim masyarakat yang pluralis seperti masyarakat Indonesia, nilai-nilai demokrasi dapat dianggap sejalan dengan kenyataan alamiahnya. Mendorong adanya upaya modernisasi ini mestinya diterapkan dalam berbagai kelembagaan politik, pendidikan politik dan pimpinan politik sebagai prasarana dalam pembangunan politik. Karena itu, selagi memberikan alternatif pemecahan terhadap potensi disintegrasi yang selalu terkandung dalam semua masyarakat pluralis, demokrasi perlu di tempatkan pada garda depan wacana pembangunan politik. Demokrasi yang diterapkan berbeda-beda pada negara didunia mempengaruhi keberhasilan yang berbeda pula dalam pembangunan politik di negara tersebut. Bagi bangsa kita sendiri saat ini, masalah pembangunan politik sebenarnya merupakan agenda politik yang terus menjadi perhatian demi terciptanya tatanan kehidupan politis yang lebih demokratis pada masa datang.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi politik pasca Reformasi menjadikan masyarakat dihidangkan dengan dengan sistem baru yang menuntut masyarakat untuk lebih terlibat secara pro-aktif didalamnya. Dalam penerapannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, sehingga dalam mewujudkannya perlu ada langkah-langkah yang harus dilakukan secara bertahap. Peningkatan kesadaran politik masyarakat serta penanaman nilai tidak boleh diabaikan, hal inilah yang kita inginkan dalam proses pembangunan politik.
Ada banyak sekali pengertian pembangunan politik, Bagaimana mendefinisikan pembangunan politik, karena sejauh karya-karya tentang politik yang bertebaran menunjukan bahwa definisi politik sangat fragmentasi, antara lain karena istilah "Pembangunan Politik" punya makna positif sehingga para ilmuan politik cenderung menerapkan pada hal-hal yang mereka anggap penting dan diperlukan. Bagi ilmuan politik, konsep pembangunan politik lebih memberi fungsi legitimasi di masyarakat ketimbang memberi fungsi analitis. Selain itu karena Pembangunan Politik merupakan aspek-aspek modernisasi, ia menjadi sebuah gagasan maupun proses yang luas dan kompleks. Pembangunan politik harus dimaknai dan diukur dengan banyak kriteria. Lucian Pye, misalnya membuat sepuluh kriteria untuk mendefinisikan pembangunan politik, yakni :
1. Pembangunan Politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi
2. Pembangunan Politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri
3. Pembangunan Politik sebagai modernisasi politik
4. Pembangunan Politik sebangai operasi negara bangsa
5. Pembangunan Politik sebagai pembangunan administrasi dan hukum
6. Pembangunan Politik sebagai mobilisasi dan partisippasi massa
7. Pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi
8. Pembangunan Politik sebagai stabilitas dan perubahan yang teratur
9. Pembangunan Politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan
10.Pembangunan Politik sebagai satu segi proses perubahan sosial yang multidimensional.
Saya mengambil tema pembangunan politik sabagai pembinaan demokrasi karena Indonesia merupakan negara demokrasi yang didalamnya terdapat sebuah sistem yang saling berkaitan satu sama lainnya. Perlu ada pembaharuan paham, budaya dan sistem politik yang secara berangsur-angsur mengeliminir berbagai paham budaya, dan sistem politik yang tidak sesuai dengan Pancasila. Disinilah yang mempengaruhi berhasil tidaknya demokrasi dalam membangun suatu sistem, atau demokrasi akan menjadi penghambat dalam pembangunan.
Indonesia memang sedang melaksanakan pembangunan politiknya, ini terlihat dengan situasi politik yang carut-marut dan ini adalah proses menuju kepada perubahan yang lebih stabil, ini tentunya sesuai dengan teori konflik. Untuk itu perlu perluasan ruang bagi partisipasi masyarakat, selain itu sebagai upaya integritas nasional maka pembangunan dan kebijakan otonomi daerah perlu ditinjau ulang. Perlu peninjauan ulang terhadap daerah-daerah yang tertinggal dengan memperhatikan kekhususan dan kekhasan daerah. Misalkan saja dalam pelimpahan dan penyerahan kewenangan antara pusat dan pemerintah daerah.
Hal ini terbukti dengan survei yang menyatakan bahwa 80% pelaksanaan otonomi daerah belum membawa kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat seutuhnya. Pembangunan politik atau bisa disebut modernisasi haruslah dipandang sebagai pembaruan ide, penanaman nilai-nilai serta semangat modernisasi itu sehingga semua orang memiliki pemahaman dan tujuan yang sama untuk mewujudkan tata politik yang lebih baik. Hal lain tentang modernisasi adalah ia harus mengentalkan keindonesiaan, artinya modernisasi bisa berjalan seiring dengan tradisi. Modernisasi harus membuat orang Indonesia tetap menjadi orang Indonesia, bukan menjadi bangsa lain. Upaya modernisasi harus diiringi dan memberi kontribusi terhadap peningkatan bobot serta kualitas bangsa. Bila tidak diikuti dengan kualitas di bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan, juga kemampuan lainnya, maka tidak ada negara yang akan memandang kita sebagai sebuah bangsa yang sejajar.
Dalam tahapan ini, upaya pembinaan kehidupan politik masih dilakukan untuk menciptakan kehidupan demokratis, dengan menitikberatkan pada dimensi demokrasi, adapun sebagai indikator keberhasilan atau penghambatkah suatu demokrasi itu dilihat dari; akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik, pemilihan umum, dan menikmati hak-hak dasar seprti hak untuk menyatakan pendapat, sehingga mampu menunjang akselerasi pembangunan politik yang nantinya akan pula menunjang keberhasilan pembangunan.
Pembangunan politik sebagai prasyarat penting bagi pengembangan Demokrasi Pancasila secara optimal. Indonesia harus didorong untuk melakukan modernisasi politik sehingga kemampuan bangsa untuk menjadi salah satu negara yang disegani di dunia dapat terwujud termasuk mengoptimalkan pemikiran kalangan muda, yang diperlukan Indonesia saat ini dan juga di masa mendatang adalah mendorong modernisasi politik di sejumlah bidang dan juga mengajak semua pihak untuk terlibat dalam upaya modernisasi itu sehingga Indonesia menjadi negara yang memiliki sistem politik yang lebih maju.Tahap pembangunan politik dalam pembinaan demokrasi di Indonesia bertujuan menciptakan kerangka landasan pembangunan bidang politik yang ditandai semakin mantapnya Pancasila, tidak saja menjadi dasar negara melainkan juga menjadi ideologi nasional yang operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1.2 Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang, penulis mengidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan demokrasi dalam pembangunan politik di Indonesia?
2. Apa saja yang mempengaruhi keberhasilan demokrasi dalam pembangunan politik di Indonesia?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi di Indonesia.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hal yang mempengaruhi keberhasilan demokrasi dalam pembangunan politik di Indonesia.
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang merupakan negara demokrasi. Pembangunan disegala bidang diperlukan untuk membangun negara ini menjadi negara kuat, pembangunan politik diperlukan untuk pembinaan demokrasi di Indonesia.
Sebelumnya kita harus memahami apa pengertian dari konsep atau pengertian dari pembangunan. Pembangunan adalah perubahan kearah yang positif dengan perencanaan. Ini yang membedakan pembangunan dengan pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soetjianingsih (1988) pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, ukuran, atau dimensi tingkat sel organ maupun individu yang bisa diukur dengan berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik.
Timbulah kata perubahan yang dimana kita harus mengetahui apa itu perubahan. Menurut Atkinson (1987 dan Brooten, 1978 dalam Nurhidiyah, 2003 : 1 ), “Perubahan yaitu merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi.” Perubahan bisa terjadi setiap saat, dan merupakan proses yang dinamik serta tidak dapat dielakkan. Berubah berarti beranjak dari keadaan yang semula. Tanpa berubah tidak ada pertumbuhan dan tidak ada dorongan. Namun dengan berubah terjadi ketakutan, kebingungan dan kegagalan dan kegembiraan. Sedangkan yang dimaksud dengan Perkembangan menurut Chaplin C.P (1983 : 134) “perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan berkesinambungan dan progresif dalam organisme, dari lahir sampai mati.”
Hurlock E.B (1978 : 23), perkembangan dapat didefinisikan sebagai deretan progresif dari perubahan yang teratur dan koheren. “Progresif” menanda bahwa perubahannya terarah, membimbing mereka maju dan bukan mundur. “Teratur” dan “Koheren” menunjukan hubungan yang nyata antara perubahan yang terjadi dan telah mendahului atau mengikutinya.
Ini berarti bahwa perkembangan juga berhubungan dengan proses belajar terutama mengenai isinya yaitu tentang apa yang akan berkembang berkaitan dengan perbuatan belajar. Disamping itu juga bagaimana suatu hal dipelajari, apakah melalui memorisasi (menghafal) atau melalui peniruan dan atau dengan menangkap hubungan-hubungan, hal-hal ini semua ikut menentukan proses perkembangan. Dapat pula dikatakan bahwa perkembangan sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi terjadi berdasarkan proses pertumbuhan. Kemasakan, dan belajar.
Pembangunan mempunyai pengertian dinamis, maka tidak boleh dilihat dari konsep yang statis. Pembangunan juga mengandung orientasi dan kegiatan yang tanpa akhir. Itulah yang membedakan pembangunan dengan pertumbuhan dan perkembangan. Perubahan kearah yang positif dengan ada perencanaan. Oleh sebab itu “politik” menggunakan istilah pembangunan.
Lucian W. Pye (1966, 45-48) membuat tiga pengkategorian besar mengenai ciri-ciri dari pembangunan politik :
1. The first relates political development to social and economics development by suggesting thatpolitical development is concerned with a multidimensional process of social changes.
2. Is concerned with what might ba called the organization of the political system, by reffering to nation building and to administrative structures.
3. The third link development to political values such as mass mobilization, the relationship between mobilization and power and the movement towards democracy.
Pembangunan dan modernisasi politik merupakan perubahan politik, tetapi tidak sebaliknya. Dalam konsep pembangunan sedikit banyak terkandung adanya upaya yang disengaja, relatif terencana, memiliki sasaran yang relatif jelas, proses yang bersifat evolusioner tidak mengandung kekerasan.
Pembangunan politik dilihat sebagai implikasi politik dari pembangunan dan cenderung dibedakan dari pembangunan ekonomi. Sasaran yang hendak dicapai dengan pembangunan politik tidak hanya sistem politik dan demokrasi, tetapi juga kemampuan-kemampuan lain yang dianggap penting dipunyai dengan suatu sistem politik untuk dapat melestarikan budaya.
Didunia ini dikenal bermacam-macam istilah demokrasi. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos artinya rakyat dan kratein atau kratos artinya kekuasaan atau pemerintahan. Demokrasi berarti kekuasaan (dari) rakyat. Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan rakyat atau rakyatlah yang berkuasa dan sekaligus diperintah.
Menurut Abraham Lincoln, goverment of the people, by the people, and for the people.” yang artinya Demokrasi adalah pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi ditangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih dibawah sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam pemerintahan demokrasi adalah rakyat.
Ada bermacam-macam demokrasi yang sudah menjadi bagian dari pemerintahan negara di seluruh dunia. Ada yang dinamakan demokrasi langsung, demokrasi tidak langsung, demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi presidensial dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi, yang menurut asal katanya berarti “rakyat berkuasa” atau government or rule by the people“. (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).
Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan keputusan atau urusan kenegaraan. Demokrasi tidak langsung adalah demokrasi yang tidak melibatkan seluruh rakyat tetapi rakyat memberikan kepercayaan kepada para wakilnya untuk membicarakan dan menentukan persoalan-persoalan kenegaraan.
Dalam Demokrasi langsung dapat diterapkan dalam pemilihan seorang pejabat publik, misalnya pemilihan presiden, gubernur atau Bupati/Wali Kota secara langsung. Di negara indonesia menganut demokrasi langsung karena terlihat dari adanya pemilihan umum untuk memilih presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat
Ditinjau dari hubungan antar alat kelengkapan negara itu ada Demokrasi dengan Sistem Parlementer dan demokrasi dengan sistem presidensial. Di Indonesia menggunakan demokrasi presidensial hal itu dapat dilihat Presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara.
Demokrasi dengan Sistem Presidensial, pelaksanaan demokrasi dalam sisten presidensial, yaitu pertanggungjawaban pemerintahan negara berada pada presiden. Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara bertanggung jawab langsung kepada rakyat atau lembaga yang mengangkatnya.
Demokrasi dengan Sistem Parlementer yaitu negara dengan sistem pemerintahan parlementer meletakkan tanggung jawab pemerintahan pada kabinet (dewan meteri). Kabinet di bawah pimpinan perdana menteri bertanggung jawab atas pemerintahan negara kepada parlemen. Indonesia menganut demokrasi pancasila, yang dimana pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Bahwa setiap negara yang menerapkan demokrasi memiliki kecendrungan yang sama dalam hal prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku secara universal, antara lain :
1) Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
Ada dua pendekatan tentang keterlibatan warga negara yaitu:
a. Pendekatan Elitis, menegaskan bahwa demokrasi adalah suatu metode administrasi dan pembuatan kebijakkan namun menuntut adanya kualitas tanggapan pihak peguasa dan kaum elite terhadap pendapat umum.
b. Pendekatan Partisipatori, menegaskan bahwa demokrasi menuntut adanya tingkat keterlibatan yang lebih tinggi, karena itu untuk mendatangkan keuntungan seperti ini kita harus menegakkan kembali demokrasi lansung.
2) Persamaan (kesetaraan) di antara warga negara tingkat persamaan yang dituju antara lain: Persamaan politik, persamaan dimuka hukum, persamaan kesempatan, persamaan ekonomi, persamaan sosial, atau persamaan hak.
3) Kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga negara.
Kebebasan dan kemerdekaan pada awalnya timbul dalam kehidupan politik sebagai reaksi terhadap absolutisme.
4) Supremasi hukum
Segala warganegara berdiri setara di depan hukum tanpa ada kecualinya.
5) Pemilu berkala
Pemilu menjadi kunci untuk menentukan apakah sistem itu demokratis atau bukan.
Sebenarnya tidak ada indikator khusus mengenai pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi. Yang ada hanya indikator demokrasi tetapi hal ini juga berkaitan dengan berhasil tidaknya pembangunan politik, karena jika demokrasi itu tidak memenuhi semua indikator maka demokrasi itu akan menjadi penghambat keberlangsungan pembangunan politik.
Pertama adalah Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa yang telah ada.
Kedua adalah Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali.
Ketiga adalah Rekruitmen Politik Yang Terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut.
Keempat adalah Pemilihan Umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan penghitungan suara. Kelima menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menyatakan pendapat dan digunakan untuk menentukan prefensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan berserikat ditandainya dengan kebebasan untuk menentukan lembaga, atau organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih.
Hal lain yang ada dalam hubungan antara demokrasi dengan pembangunan politik meliputi problem artikulasi dan agregasi kepentingan. Ini berkaitan dengan pengartikulasian kepentingan-kepentingan dalam proses yang terbuka dan kemudian diagregasikan menjadi kebijakan-kebijakan publik.
Pembangunan politik sebagai pembina demokrasi, Pakar politik Lucien W. Pye (Aspects of Political Development, pada Memajukan Demokrasi mencegah disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik oleh Nicolaus Budi Harjanto) memberikan dimensi/unsur dari pembangunan politik sebagai berikut :
Pembagunan politik sebagai : pertambahan persamaan (equality) antara individu dalam hubungannya dengan system politik, pertambahan kemampuan (capacity) system politik dalam hubungannya dengan lingkungan, dan pertambahan pembedaan (differentiation and specialization) lembaga dan struktur di dalam system politik itu. Ketiga dimensi tersebut senantiasa ada pada “Dasar dan jantung proses pembangunan”.
Menurut Pye, dimensi persamaan (equality) dalam pembangunan politik berkaitan dengan Masalah partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam Kegiatan-kegiatan politik, baik yang dimobilisir secara demokratis maupun totaliter. Dalam unsur/dimensi ini dituntut adanya pelaksanaan hukum secara universal, dimana semua orang harus taat kepada hokum yang sama, dan dituntut adanya kecakapan dan prestasi serta bukan pertimbangan-pertimbangan status berdasarkan suatu system sosial yang tradisional.
Dalam proses pembangunan, dimensi ini berkaitan erat dengan budaya politik, legitimasi dan keterikatan pada system. Sedangkan dimensi kapasitas (capacity) dimaksudkan sebagai kemampuan system politik yang dapat dilihat dari output yang dihasilkan dan besarnya pengaruh yang dapat diberikan kepada sistem-sistem lainnya seperti system sosial dan ekonomi. Dimensi ini berhubungan erat prestasi pemerintah yang memiliki wewenang resmi, yang mencerminkan besarnya ruang lingkup dan tingkat prestasi politik dan pemerintahan, efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan umum dan rasionalitas dalam administrasi serta orientasi kebijakan. Sedangkan dimensi diferensiasi dan spesialisasi (differentiation and specialization), menunjukkan adanya lembaga-lembaga pemerintahan dan struktur-strukturnya beserta fungsinya masing-masing, yang terdapat pada sistem politik. Dengan diferensiasi berarti bertambah pula pengkhususan atau spesialisasi fungsi dari beberapa peranan politik di dalam sistem. Di samping itu diferensiasi melibatkan pula Masalah integrasi proses-proses dan struktur-struktur yang rumit (Spesialisasi yang didasarkan pada perasaan integrasi keseluruhan).
Pembangunan politik dalam hal ini erat kaitannya dengan budaya politik, struktur-struktur politik yang berwenang serta proses politik. Pembangunan politik sebagai prasyarat penting bagi pengembangan Demokrasi Pancasila secara optimal dalam proses tersebut membutuhkan prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Demokrasi dalam Pembangunan Politik Di Indonesia
Sejak kejatuhan Soeharto dengan orde barunya pada 1998, Indonesia hingga kini tengah mengarungi sebuah era transisi dari rezim otoriter menuju sebuah tatanan yang demokratis. Pengalaman sejarah selama pasca reformasi digulirkan menunjukkan adanya kecenderungan kekuatan elemen-elemen lama akan mengembalikan perkembangan politik nasional kepada tatanan politik otoriter atau setidaknya menghambat laju transisi menuju demokrasi. Gejala ini sangat transparan dengan munculnya berbagai konflik antar elite baik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau di internal parpol yang seolah-olah tak berunjung. Demokrasi terkait erat dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan rakyat (civil liberty). Kompetisi dalam demokrasi terkait dengan adanya pemilihan umum (pemilu). Bahkan, bagi teoritisi minimalis penganut Schumpeterian (Schumpeter, 1947), pemilu merupakan satu-satunya prasyarat demokrasi.
Banyaknya parpol yang mengikuti pemilu, baik pada tahun 1999 dan 2004 menunjukkan tidak puasnya publik dengan parpol-parpol mapan (established) yang ada. Mereka melakukan semacam gerakan resistensi dengan ramai-ramai membentuk parpol baru, meskipun mereka tahu syarat untuk bisa menjadi peserta pemilu sangat ketat. Publik juga kecewa dengan komposisi anggota DPR, baik hasil pemilu tahun 1999 atau 2004 yang dinilainya belum mampu menangkap aspirasi masyarakat sipil (civil society), dan sekedar cenderung memperkuat oligarki politik, dengan memperkokoh eksistensi elite-elite parpol besar yang telah mapan semata.
3.1.2 Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Guillermo O’Donnell dan kawan-kawan pernah melakukan serangkaian studi mengenai fenomena transisi demokrasi yang terjadi di Amerika Latin dan Eropa Selatan yang menghasilkan karya mereka Transitions from Authoritarian Rule (1986) secara sederhana menjelaskan “transisi” sebagai “interval waktu antara satu rezim politik dan rezim politik yang lain”. Secara lebih jelas Juan J. Linz dan Alfred Stepan merumuskan bahwa suatu transisi demokrasi berhasil dilakukan suatu negara jika :
(a) Tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan yang dipilih
(b) Jika suatu pemerintah memegang kekuasaannya atas dasar hasil pemilu yang bebas
(c) Jika pemerintah hasil pemilu tersebut secara de facto memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan baru
(d) Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dihasilkan melalui demokrasi yang baru itu secara de jure tidak berbagi kekuasaan dengan lembaga-lembaga lain.
Rakyat Indonesia sebagian besar masuk ke dalam sebuah era demokrasi sesungguhnya dimana pada saat yang sama tingkat kehidupan ekonomi mereka justru tidak lebih baik dibandingkan ketika masa Orde Baru. Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi.
Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi.
Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.
Sementara demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya konstituante mengeluarkan undang-undang dasar baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia sebagai salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang terperhatikan akibat berbagai kebijakan politik pada masa itu. Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM sehingga harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa kali dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas dan menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata internasional akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
Namun demikian, demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia memperlihatkan beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pemilihan umum dengan diikuti banyak partai adalah sebuah kemajuan yang harus dicatat. Disamping itu pemilihan presiden secara langsung yang juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung adalah kemajuan lain dalam tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar hal tersebut, kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi di masyarakat juga semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu menyuarakan keluhan mereka di depan publik sehingga masalah-masalah yang selama ini terpendam dapat diketahui oleh publik. Pemerintah pun sangat mudah dikritik bila terlihat melakukan penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan bila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.
3.1.2 Reformasi Kelembagaan
Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru upaya reformasi institusional atau kelembagaan sebenarnya telah dimulai pada era pemerintahan BJ Habibie yang ditandai dengan perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Atas dasar perubahan itu maka pemilu bebas dan demokratis pertama pasca Orde Baru diselenggarakan pada Juni 1999. Pemilu di bawah sistem multipartai tersebut kemudian menghasilkan DPR, MPR dan pemerintah baru yang mengagendakan reformasi konstitusi melalui empat tahap perubahan (amandemen), yakni amandemen pertama (1999) dan kedua (2000) pada era Presiden Abdurrahman Wahid, serta amandemen ketiga (2001) dan amandemen keempat (2002) pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri.
Tampak mulai disadari, kendati agak terlambat, bahwa konsensus prosedural dalam rangka efektifitas format politik baru tak mungkin dicapai tanpa reformasi konstitusi karena sistem demokrasi yang stabil hanya bisa tumbuh jika konsitusi yang memayunginya cukup memadai untuk itu. Para ahli yang mendalami masalah transisi demokrasi menggarisbawahi pentingnya reformasi konstitusi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.
Reformasi kelembagaan yang cenderung tambal-sulam dan mengabaikan koherensi dan konsistensi juga tercermin dalam UU bidang politik, UU Partai Politik (No. 31/2002), UU Pemilu (No. 12/2003), UU Pemilu Presiden (No. 23/2003), dan UU Susduk (No. 22/2003) dalam rangka Pemilu 2004. Secara teoritis, pilihan atas sistem pemilu seharusnya merupakan konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem perwakilan, sedangkan pilihan atas sistem kepartaian adalah konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem pemilu. Namun dalam realitasnya kita mempertahankan sistem proporsional untuk pemilu legislatif, suatu pilihan politik sebenarnya tidak tepat karena sistem proporsional merupakan basis bagi terbentuknya sistem multipartai. Padahal, sistem presidensiil tak akan pernah bisa bekerja efektif apabila fragmentasi dan polarisasi partai terlalu tinggi seperti sistem multipartai yang berlaku dewasa ini.
Selain problematik yang dikemukakan di atas, reformasi kelembagaan yang tambal-sulam juga tampak dari diabaikannya urgensi keberadaan UU Lembaga Kepresidenan.
Disharmoni relasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla tak perlu terjadi seandainya ada pengaturan yang jelas mengenai apa saja sesungguhnya wilayah kewenangan Wapres dalam “membantu” Presiden. Begitu pula, tarik-menarik kepentingan partai-partai politik dalam pembentukan kabinet atau dalam isu reshuffle kabinet tak perlu terjadi jika Presiden cukup percaya diri bahwa pemerintahannya bukanlah kabinet partai-partai atau koalisi partai seperti berlaku di dalam sistem parlementer. Di sisi lain, para politisi partai kita semestinya menyadari bahwa mandat dan legitimasi Presiden dalam suatu sistem presidensial tidak berasal dari parlemen ataupun partai-partai, melainkan dari rakyat secara langsung.
Demokrasi mempersyaratkan kompetisi politik secara bebas, di mana daulat rakyat menempati posisi paling strategis, antara lain karena mereka sumber legitimasi. Bila oligarki politik, ternyata hanya memperkuat posisi beberapa kekuatan politik saja, dan mematikan yang lain atas upaya-upaya yang dilakukan secara sitematis, maka, sama saja hal itu mencederai demokrasi.
Perubahan sistem politik nasional sejak jatuhnya orde baru hingga kini, telah menunjukkan perkembangan berarti. Namun demikian, haruslah diakui masih banyak kekecewaan yang perlu dikemukakan. Proses reformasi, masih mengalami kendala-kendala yang tidak saja disebabkan oleh kultur politik masa lampau yang masih belum hilang sepenuhnya, namun juga oleh fenomena oligarki politik. Perubahan sosial politik, usai pemilu tahun antara lain ditandai oleh masuknya banyak pemain baru di pentas politik nasional. Itulah keseimbangan politik yang muncul dan merupakan hal yang mungkin mendukung dalam proses pembangunan politik
3.2 Hal Yang Mempengaruhi Demokrasi dalam Pembangunan Politik Di Indonesia
Pembangunan politik dapat diartikan secara tepat sebagai pembangunan demokrasi, dan karena itu the greater the state of development the greater the advance of liberty, popular sovereignty, and free institutions.” Konsisten dengan pendekatan ini adalah posisi adanya garis lain pembangunan dengan merujuk pada visi-visi ideologi lain dan komunitas politik yang idealis.
Dari definisi tersebut, yang terpenting adalah adanya elemen-elemen kunci dan pembangunan politik yang meliputi hal-hal berikut. Pertama, berkaitan dengan rakyat secara keseluruhan, maka pembangunan politik berarti suatu perubahan dari subyek dan status ke peningkatan sejumlah kontribusi warganegara karena adanya perluasan partisipasi massa, serta perluasan suatu sensitivitas pada prinsip-prinsip equality dan penerimaan yang lebih luas lagi akan hukum-hukum yang universalistik. Kedua, berkaitan dengan kemampuan pemerintahan dan sistem politik secara umum, pembangunan politik meliputi peningkatan kapasitas dan sistem politik untuk mengatur permasalahan-permasalahan umum, mengontrol kontroversi, dan mengakomodasi tuntutan-tuntutan rakyat. Ketiga, berkaitan dengan organisasi-organisasi masyarakat politik, pembangunan politik dimaksudkan untuk terjadinya perluasan diferensiasi struktural, spesialisasi fungsional, dan perluasan integrasi dan semua organisasi-organisasi yang berpartisipasi di dalamnya.
3.2.1 Kehidupan Demokrasi dalam Pembangunan Politik
Salah satu pandangan mengenai konsep pembangunan politik adalah berhubungan dengan penguatan nilai-nilai dan praktek-praktek bagi dasar demokrasi, maupun dengan kemajuan ke arah masyarakat yang demokratis. Di negara-negara transisional permasalahan demokrasi sering terjadi, salah satunya karena prioritas pembangunan adalah pada nilai-nilai pertumbuhan ekonomi.
Asumsi yang melatarbelakanginya adalah kemajuan pembangunan ekonomi akan terhambat oleh sistem politik yang pluralistik. Lebih khusus lagi, adalah adanya perluasan kepercayaan bahwa efisiensi dalam alokasi sumber-sumber daya dan kebutuhan disiplin untuk mengontrol konsumsi pada suatu saat dengan maksud untuk menciptakan surplus dalam bentuk savings yang dibutuhkan, akan lebih mudah dilakukan dalam sistem partai tunggal, dimana terdapat kompetisi politik yang minimum. Oleh karena itulah demokrasi kemudian dipandang sebagai sesuatu yang istimewa, dan saat terbaik untuk penerapannya adalah after the big push for development.
Di samping itu, metode demokrasi terkadang dipandang kurang efisien dibanding metode otoritarian terutama dalam keadaan khusus, seperti ketika Perang Dunia berkecamuk. Dalam hal ini, sebagian masyarakat transisional berkeyakinan bahwa demokrasi bertautan dengan inefisiensi, tindakan-tindakan yang rumit, dan praktek-praktek yang korup, sedangkan cara otoritarian identik dengan pemikiran yang cemerlang, tindakan-tindakan multiguna. dan firm dedication. Karena itulah banyak politisi diberbagai negara kemudian menjustifikasi semua kelemahan dan kekurangan akan standar-standar dalam hal performance-nya yang dapat dijadikan bukti komitmen mereka terhadap metode demokrasi.
Alasan utama lain untuk meragukan validitas nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat-masyarakat transisional adalah apresiasi politisi yang memandang lemah ketertiban masyarakat dalam negara-negara tersebut. Ini menyangkut pesimisme prospek bahwa masyarakat yang mencoba menerapkan demokrasi yang dipandang mewah, mungkin akan jatuh ke bentuk negara tanpa aturan di mana semua kemajuan menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Karena dalam hampir semua masyarakat transisional terdapat konflik yang inheren antara kebutuhan akan aturan dengan kebutuhan akan perubahan yang berkelanjutan, khususnya pada proses akulturasinya.
Perluasan modernisasi atau kebudayaan dunia secara fundamental telah menghancurkan bentuk-bentuk tradisional dan organisasi sosial, dan pada saat yang sama terjadi proses difusi yang menuntut masyarakat untuk meraih suatu tingkatan baru dalam tertib politiknya. “The state of equilibrium” antara aturan dan perubahan ini kemudian menjadi sesuatu yang critical dalam mendeterminasikan kondisi politik di banyak masyarakat transisional pada berbagai peristiwa khusus.
Dalam konteks inilah, perlu ditekankan mengenai hal-hal berikut. Pertama, esensi stabilitas politik. Yaitu kemampuan untuk merealisasikan perubahan-perubahan yang multiguna, dengan disertai daya adaptasi dalam menghadapi krisis-krisis perubahan. Sehingga, stabilitas politik harus dapat dikaitkan dengan perubahan-perubahan yang secara rasional dimaksudkan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan sosial semaksimal mungkin bagi keseluruhan warganegara. Sedangkan kondisi kebalikannya, yaitu instabilitas politik berarti sebagai ketidakluwesan (inflexible) dan terlalu kakunya kebijaksanaan umum di dalam mengakomodasi perubahan keseimbangan nilai-nilai di dalam masyarakat. Oleh karena itu, instabilitas akan selalu berkaitan dengan kegagalan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan sosial dan rakyat, dan tak jarang meningkatkan proporsi frustasi sosial.
Kedua, bahwa praktek-praktek demokratik di negara-negara maju terkadang atau sering terancam oleh kondisi frustasi bersama ketika semakin melebarnya gap antara aspirasi dan realitas. Faktor dinamik yang menciptakannya secara umum adalah karena tidak merata dan berkelanjutannya proses-proses perubahan sosial dalam tujuan-tujuan yang lebih luas dan urbanisasi. Dikebanyakan negara transisional laju pertumbuhan seperti urbanisasi melebihi laju pertumbuhan ekonomi dan industri. Demikian pula pada hubungan antara elite penguasa dengan rakyat juga berpengaruh dengan stabilitas politik masyarakat transisional.
Pada kebanyakan masyarakat transisional dapat ditemui adanya kekurangan prasyarat esensial bagi terciptanya suatu sistem pemerintahan representatif yang mapan. Diantaranya yaitu, pertama, mekanisme sosial yang memungkinkan untuk mendeterminasikan dan mengklarifikasi secara terus-menerus pola-pola nilai dan kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dan menghubungkannya dengan pola kekuasaan melalui proses agregasi maupun tawar-menawar.
Kedua, ketiadaan instrumen-instrumen yang tepat untuk menjalankan maupun mengimplementasikan kebijakan publik ke tengah-tengah masyarakat pada saat masyarakat juga mengekspresikan nilai dan kepentingan relatifnya. Ketiadaan instrumen ini pada umumnya berupa suatu birokrasi yang efisien, yang bukan saja sekadar menjadi organisasi tingkat negara yang dominan kekuasaannya.
Permasalahan untuk pengaplikasian praktek-praktek demokrasi, khususnya di negara baru merdeka, juga merupakan permasalahan fundamental dalam nation building dan tingkatan historis. Dimana banyak negara-negara baru kemudian mencoba mencari rekonsiliasi yang memuaskan antara dimensi universalistik dan kebudayaan dunia dengan ekspresi-ekspresi parokial dan budaya lokal. Sebab sebuah negara-bangsa modern tidaklah sekadar penerapan secara politis dan semua teknologi, tingkah laku, maupun pengetahuan yang menjadi dasar kebudayaan dunia tersebut, tetapi juga merupakan sebuah pencerminan keunikan dan kepentingan-kepentingan lokal dan spesifik dan masyarakat yang berbeda satu sama lain.
Sementara itu, esensi nation-building di kebanyakan negara baru sendiri merupakan pencarian suatu perasaan identitas kolektif baru bagi seluruh rakyat. Identitas ini sangat vital karena mampu memberikan kepatuhan bagi warganegara untuk diperintah, mampu mengekspresikan rasa penghormatan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, serta mampu untuk menjawab berbagai pengaruh yang inheren dalam budaya-budaya universal dan kosmopolitan misalnya.
Oleh karena itu, pada umumnya, fase pertama pengenalan kebudayaan dunia ke dalam proses kehidupan masyarakat transisional secara garis besar difasilitasi dengan penerapan aturan-aturan otoritarian. Biasanya kolonialisme yang akan membentuk fungsi-fungsi modern ini.
Selanjutnya fase kedua dalam nation-building adalah munculnya kebutuhan untuk membawa bersama nilai-nilai universal dan parokial. Fase ini jelas memerlukan kedekatan hubungan antara pemerintah dengan rakyat, karena menyangkut proses dibawanya sentimen-sentimen partikularistik dan kepentingan-kepentingan riel masyarakat ke dalam proses politik tanpa mengganggu persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh aparat negara.
Kemunculan kedua nilai ini (universal dan parokial) dapat melalui gerakan-gerakan populis, slogan-slogan ideologi nasional, atau melalui sintesa keduanya. Pada titik inilah, fungsi-fungsi dasar dan pemermtah yang representatif menjadi critical di dalam proses nation building.
Permasalahan lain dalam hubungan antara demokrasi dengan pembangunan politik meliputi problem artikulasi dan agregasi kepentingan. Ini berkaitan dengan pengartikulasian kepentingan-kepentingan dalam proses yang terbuka dan kemudian diagregasikan menjadi kebijakan-kebijakan publik.
Dalam masyarakat transisional, hal ini terkadang sulit dilaksanakan karena adanya beberapa faktor seperti tingginya tuntutan-tuntutan yang uncompromising & unnegotiable dan etnis, kekuatan agama, atau kelompok-kelompok komunal lain yang saling berbeda kepentingan. Oleh karena itu, tidak memenuhinya syarat untuk proses artikulasi kepentingan-kepentingan khusus, dapat memperlemah sistem agregasi kepentingan yang berdasarkan pertimbangan rasional. Kecenderungan seperti ini tidak akan mempunyai konsekuensi serius bagi pembangunan dan sebuah masyarakat politik demokratik modern, jika terdapat kompetisi terbuka di antara semua kekuatan yang menjalankan fungsi artikulasi politik.
Fungsi artikulasi politik disini juga meliputi penanaman pengertian pada rakyat mengenai nilai-nilai maupun juga pandangan-pandangan baru. Karena pada sisi lain, modernisasi mensyaratkan transformasi bentuk-bentuk dan perasaan populer, penciptaan bintutan dan perlengkapan baru, serta penyatuan loyalitas yang baru secara bersama. Fungsi ini merupakan tugas para elite politisi populer untuk secara efektif memfasilitasi modernisasi, sehingga menghindarkan konflik maupun gagasan-gagasan yang membingungkan rakyat.
Akan tetapi secara lebih jauh demokrasi merupakan sesuatu yang sulit diterapkan pada semua negara. Hal ini karena tiadanya standar demokrasi ideal yang berlaku universal, sehingga tak jarang ditemui khususnya di negara transisional, dimana terdapat hampir semua aturan maupun institusi politik modern kecuali politisi yang popular, yang mana ini merupakan the critical key to democracy. Hal ini dapat disebabkan karena warisan administrasi kolonial yang tidak membuka diri bagi bentuk birokrasi dengan politisi populer.
Oleh karena itu, demokratisasi merupakan proses yang lambat dan sulit, khususnya dalam hal pencapaian substansi kehidupan demokrasi di negara baru. Pada umumnya, masyarakat tersebut tidak siap untuk kehidupan demokrasi. Dengan demikian, proses tersebut akan dapat berjalan seiring pembangunan politiknya, dan permasalahan yang terjadi selama menuju masyarakat terbuka yang demokratis tersebut jelas membutuhkan statecraft para pemimpm. Selain itu, pembangunan demokrasi meliputi lebih dari sekadar kesuksesan dalam memecahkan permasalahan partisipas rakyat yang populer.
3.2.2 Civil Society dalam Demokrasi
Pada masa pasca orde baru, oligarki politik terbentuk lewat proses politik yang cenderung alamiah. Parpol-parpol besar yang established, tampaknya cenderung suka memutuskan kebijakan politik yang bermakna mempertegas posisi mereka dari proses politik yang demikian kompetitif, dan gejala ini harus selalu diwaspadai.
Ditinjau dari kriteria prosedural, Indonesia telah mencapai banyak kemajuan. Namun demikian, perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substanstif, yang menjamin terwujudnya esensi demokrasi, seperti pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).
Dalam situasi ini, perjuangan kaum demokrat memasuki babak baru yang lebih kompleks. Medan pertarungan bukan lagi antara kaum demokrat melawan pemerintahan otoriter tapi, antara sesama pendukung demokrasi. Pemenangnya akan menentukan apakah pemerintahan demokrasi makin terkonsolidasi dan melayani kepentingan mayoritas. Atau sebaliknya, yang terjadi adalah konsolidasi pemerintahan teknokratis yang dijalankan dan dikontrol oleh oligarki.
Tidak sedikit tokoh-tokoh partai menunjukkan sikap dan perilaku yang sangat berorientasi kepada kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Perilaku yang demikian akhirnya menimbulkan sikap tidak simpati masyarakat kepada partai politik.
Dalam kaitan ini, agenda yang sangat penting, mendasar serta mendesak bagi partai politik ke depan adalah pengkaderan. Partai politik harus mampu memproduksi kader-kader partai politik yang memadai untuk menjalankan organisasi partai politik. Partai harus dapat mendidik kader sehingga mereka mempunyai karakter dan mentalitas bahwa keberadaannya sebagai kader partai adalah panggilan hidup, karena cita-cita atau karena keyakinan. Kemudian, ketika kader hasil binaannya memiliki potensi untuk berkembang, elite politik di partai bersangkutan harus memberikan support yang maksimal dan bukannya ”membunuhnya” karena dianggap sebagai saingan.
Para kader partai politik juga harus digembleng agar mempunyai keterampilan menerjemahkan ideologi partai menjadi kebijakan publik. Selain itu mereka juga harus dididik mempunyai semangat kebersamaan dan kesetaraan. Artinya, sebagai kader mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk meniti karier sampai jenjang tertinggi pada partai yang bersangkutan.
Tanpa adanya proses kaderisasi partai-partai politik hanya akan menjadi institusi yang menjadi instrumen perebutan kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri. Bila partai politik tidak melakukan proses pengkaderan yang benar, hal itu tidak akan hanya berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup partai politik, tetapi pertaruhan yang lebih besar adalah masa depan bangsa secara keseluruhan.
Jika dicari sebabnya, situasi yang sekarang sedang berlangsung adalah produk dari partai-partai politik yang secara mendadak memperoleh kekuasaan tanpa mempunyai persiapan kader yang memadai. Oleh karena itu, terlalu banyak mengharapkan perubahan yang lebih baik dari suatu rezim yang sumber rekrutmen elitenya sangat miskin pengalaman, keterampilan serta komitmen terhadap ideologi perjuangan yang rendah adalah sesuatu yang berlebihan.
Intinya, persoalan yang sangat mendesak untuk dijawab adalah bagaimanakah peran masyarakat sipil dalam menyelamatkan proses transformasi politik dewasa ini dan nasib bangsa ke depan? Sebab, kegagalan penerapan agenda demokratisasi yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan hidup rakyat, ditambah lagi dengan rendahnya tingkat ketertiban sosial, penegakan hukum serta tekanan kehidupan sehari-hari yang semakin berat telah menyebabkan meningkatnya keraguan masyarakat terhadap manfaat proses reformasi.
Jawaban terhadap persoalan tersebut secara umum dapat disebutkan bahwa tindakan yang sangat perlu dilakukan adalah memperkuat masyarakat sipil. Tetapi sekali lagi, hal itu tidak sederhana mengingat beberapa hal sebagai berikut. Pertama, masyarakat sipil yang mempunyai andil besar terhadap tumbangnya rezim yang otoriter adalah masyarakat sipil yang terbatas pada kalangan tertentu dan elitis, antara lain mereka itu adalah kalangan mahasiswa dan dosen (civitas akademika), pekerja profesional termasuk pengacara, budayawan, wartawan, dan aktivis dari berbagai organisasi kemasyarakatan.
Kedua, gerakan demokratisasi menumbangkan Orde Baru lebih merupakan upaya menjatuhkan rezim otoriter, tetapi tidak disertai dengan agenda yang jelas dan menyeluruh mengenai proses reformasi selanjutnya. Penyusunan agenda semacam itu tidak mudah mengingat proses reformasi tidak berhasil memisahkan secara hitam-putih, siapa yang dapat dikategorikan sebagai kaum reformis murni dan siapa yang sesungguhnya yang masih menjadi bagian, bahkan inti dari kekuatan sebelumnya.
Ketiga, watak elitis dari gerakan prodemokrasi berimbas kepada pendekatan selanjutnya dalam mengelola proses perubahan. Gerakan prodemokrasi lebih mengandalkan pendekatan yang elitis berupa tekanan-tekanan terhadap elite politik baik melalui forum public discourse, memobilisasi massa untuk memberikan pressure pada kebijakan yang dianggap tidak adil, dan pendekatan-pendekatan yang lebih personal tetapi mengabaikan konstituensi yang sebenarnya mempunyai kepentingan terhadap suatu masalah yang sedang diperjuangkan.
Dengan mencermati secara singkat pasang surut dan perkembangan historis keberadaan masyarakat sipil, sangat jelas bahwa masyarakat sipil mempunyai peran dan kontribusi yang sangat besar dalam proses demokrasi. Bila hal itu dikaitkan dengan konteks kehidupan politik dewasa ini dan arah perkembangan politik ke depan, maka dalam menyusun strategi penguatan masyarakat sipil pertama-tama perlu ditekankan bahwa perjuangan melawan rezim diktator berbeda dengan perjuangan mewujudkan kehidupan demokrasi.
Kekuatan masyarakat sipil ternyata telah mampu menjatuhkan sistem kekuasan yang otoriter. Tetapi masyarakat sipil karena watak dan ruang lingkup perjuangannya tidak begitu mudah mewujudkan demokrasi. Sebab, mengukir demokrasi secara mutlak memerlukan pembangunan institusi politik baru yang dapat menopang demokrasi serta mengembangkan kultur demokrasi. Khususnya budaya patronage politik dan mental serta paradigma baru yang menempatkan pemimpin adalah hamba atau pelayan rakyat dan bukan satrio piningit apalagi tuan atau ratu adil yang dengan tuahnya dapat mengubah Indonesia menjadi surga.
Dengan mencermati perkembangan politik dapat diproyeksikan bahwa politik Indonesia ke depan akan sangat diwarnai oleh pertarungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politiknya (civil society vis a vis political society). Peran masyarakat sipil akan semakin berkurang sejalan dengan pembangunan lembaga-lembaga politik yang dapat menopang bangunan demokrasi serta kultur politik demokratis yang akan memberikan roh bagi kehidupan demokrasi.
3.2.2 Budaya Politik
Dengan adanya perbedaan yang berpotensi besar dalam orientasi-orientasi politik, di beberapa komunitas politik terdapat budaya politik yang berbeda dan terbatas dalam memberi makna, prediktabilitas, dan bentuk proses politik. Budaya politik sendiri dapat dimengerti sebagai serangkaian sikap, kepercayaan, dan pandangan/keyakinan anggota masyarakat yang mempunyai pengaruh di dalam pengaturan sistem/proses politik, serta suatu perasaan, sikap, dan pandangan yang mendasari pemahaman masyarakat terhadap perilaku-perilaku politik dalam sistem politik.
Oleh karena itu budaya politik juga mencakup “the political ide and the operating norms of a polity”. Dengan demikian budaya politik kemudian merupakan manifestasi bentuk agregasi dimensi-dimensi psikologis dan subyektif dari politik, serta merupakan produk dan rangkaian sejarah sistem politik dan pengalaman hidup anggota-anggota sistem tersebut yang berakar dengan baik pada peristiwa-peristiwa umum maupun pengalaman-pengalaman sendiri.
Di kebanyakan negara, kemungkinan tidak adanya suatu budaya politik massa yang secara umum bersatu, tetapi sebaliknya ada banyak perbedaan budaya politik massa yang terbagi menurut kelas, wilayah, komunitas etnis maupun pengelompokan sosial. Keragaman sikap dan opini seperti itu tidak perlu menimbulkan masalah-masalah identitas maupun legitimasi. Bagi pembangunan politik yang stabil tidak mensyaratkan suatu budaya politik yang homogen, dan pada beberapa masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan pluralisme ternyata lebih mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang berkelanjutan.
Salah satu faktor pendukung atau penghambat keberhasilan pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi adalah keadaan sosial budaya negara itu sendiri. Lingkup dan fungsi politik itu akan berbeda antara satu macam budaya politik dengan yang lain. Dalam budaya politik demokratis misalnya, biasanya terdapat perasaan yang jelas mengenai batas-batas yang pasti dalam kehidupan politik, ada pengakuan eksplisit terhadap permasalahan-permasalahan baru, serta berkaitan dengan tingkatan spesialisasi fungsional dalam mengendalikan persoalan. Demikian pula, dalam budaya politik demokratis biasanya, kekuasaan menjadi bersifat relatif dalam hal pembuatan kebijakan politik, karena kuatnya kontrol sosial dan tingginya partisipasi politik rakyatnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Demokrasi merupakan sarana guna terciptanya partisipasi politik masyarakat secara luas dengan instrumen pokoknya adalah partai politik (parpol). Partisipasi merupakan persoalan relasi kekuasaan atau relasi ekonomi-politik antara negara (state) dan masyarakat (society). Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan untuk mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Di dalam masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang bertanggungjawab (accountability), transparan (transparency), dan responsif (responsibility) terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi masyarakat akan membuahkan pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan (empowerment). Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-haknya, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.
Demokrasi terkait erat dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan rakyat (civil liberty). Partai politik dapat juga memerintah sebuah masyarakat. Karena partai politik terkadang cenderung bekerja dalam fungsi-fungsi seperti gerakan massa atau institusi publik. Kompetisi dalam demokrasi terkait dengan adanya pemilihan umum (pemilu). Bahkan, bagi teoritisi minimalis penganut Schumpeterian (Schumpeter, 1947), pemilu merupakan satu-satunya prasyarat demokrasi. Pembangunan politik dalam hal ini erat kaitannya dengan budaya politik, struktur-struktur politik yang berwenang serta proses politik. Pembangunan politik sebagai prasyarat penting bagi pengembangan Demokrasi Pancasila secara optimal dalam proses tersebut membutuhkan prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis.
4.2 Saran
Kedaulatan atas negara pada dasarnya ada pada rakyatnya, bukan pada segelintir orang yang hanya mengatasnamakan rakyat. Oleh karena itu, Pemerintah harus bisa menjadi subyek pemberi informasi bagi masyarakat dalam rangka pemenuhan hak-hak publik seperti hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).
Dalam penyelenggaraan proses pemerintahan demokrasi kemungkinan besar akan mendatangkan konflik, penyelesaian sebagian besar dan semua krisis legitimasi membutuhkan kepemimpinan yang dinamis. Di samping adanya usaha-usaha lain seperti tetap menjaga kehidupan tradisi-tradisi dan kebijakan-kebijakan nasional yang terbaik, yang mampu membuat a constructive sense of order. Dalam hal resolusi krisis ini, perlu ditinjau kembali mengenai tiga tipe otoritasnya Weber, yaitu tradisional, karismatis, dan legal rasional, yang masing-masing dapat memberikan jalan keluar bagi permasalahan keberadaan disemua tingkatan mengenai legitimasi dan otoritas.
Kepemimpinan yang karismatis, dinamis, dan tanggap terhadap permasalahan dimasyarakatnya dapat menyelesaikan atau mengurangi kadar krisis legitimasi. Dilema antara melestarikan atau menolak yang telah lalu, dilema antara kepuasan dengan pengorbanan, maupun juga permasalahan karena adanya konflik-konflik yang tajam atau diskontinuitas proses sosialisasi antara dua generasi. Kedua krisis tersebut, krisis identitas dan legitimasi, merupakan krisis budaya politik dalam pembangunan politik. Sedangkan krisis lainnya meliputi krisis distribusi dan krisis partisipasi, yang merupakan krisis proses politik, serta krisis penetrasi yang merupakan krisis dalam proses pemerintahan.
Hubungan antara berbagai krisis-krisis tersebut tidaklah sama di semua negara. Rangkaian krisis di suatu negara sangat tipikal sehingga pada beberapa bagian pola pembangunan menunjukkan adanya ketergantungan secara meluas terhadap rangkaian krisis-krisis tersebut dan bagaimana cara pemecahannya.
Dari sini dapat dilihat bahwa prospek pembangunan dihampir semua negara transisional akan berkaitan dengan prospek stabilitas, pola-pola pembangunan yang tidak merata, serta permasalahan hubungan utara-selatan atau antara negara maju dengan negara berkembang. Maka pembangunan politik haruslah dilihat juga sebagai an extraordinarily costly enterprise in terms of the investment of effort and resources.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. Prof. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Harjanto, Nicolaus Teguh Budi. 1997. Memajukan Demokrasi Mencegah Disintegrasi; Sebuah Wacana Pembangunan Politik. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Muhaimin, Yahya. Drs. 1981. Masalah-Masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sudarsono, Juwono. 1981. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar