Kamis, 10 Januari 2013



lirik lagu cinta sejati ost. habibie dan ainun

ost. habibie & ainun lirik lagu cinta sejati bunga citra lesari

Manakala hati menggeliat mengusik renungan
Mengulang kenangan saat cinta menemui cinta
Suara sang malam dan siang seakan berlagu
Dapat aku dengar rindumu memanggil namaku

Saat aku tak lagi di sisimu
Ku tunggu kau di keabadian
Aku tak pernah pergi, selalu ada di hatimu
Kau tak pernah jauh, selalu ada di dalam hatiku

Sukmaku berteriak, menegaskan ku cinta padamu
Terima kasih pada maha cinta menyatukan kita
Saat aku tak lagi di sisimu
Ku tunggu kau di keabadian
Cinta kita melukiskan sejarah

Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu cinta kita sejati
Saat aku tak lagi di sisimu

Ku tunggu kau di keabadian
Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan

Pasti tahu cinta kita sejati
Lembah yang berwarna
Membentuk melekuk memeluk kita
Dua jiwa yang melebur jadi satu
Dalam kesunyian cinta

Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu cinta kita sejati

Kamis, 04 November 2010

PENYAKIT BIROKRASI DARI SISI TEORI ORGANISASI


BAB I
PENDAHULUAN
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara mernbangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.
Pelaksanaan otonomi di beberapa daerah kota/kabupaten di Indonesia, sehubungan dengan fungsi pemerintah daerah sebagai penyedia layanan publik (public service provider). Semangat otonomi daerah melalui UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah semakin terbuka bagi setiap pemerintah daerah untuk dapat lebih mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, sehingga patologi birokrasi dapat ditekan dan mungkin dihindarkan. Dengan demikian akan lebih mendekatkan akses masyarakat kepada pemerintah. Selain membawa konsekuensi logis, maka akan lebih jelas tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pelayanan kepentingan masyarakatnya. Dalam arti luas, birokrasi dalam pelayanan publik akan mewujudkan suatu tata kepemerintahan yang baik (good governance). 
Good governance menjadi isu yang aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu menampilkan perfomance yang baik, mau tampil secara profesional dalam melaksanakan pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada di bawah tekanan kelompok politik tertentu. 
Sebelum reformasi bergulir, birokrasi seolah hanya menjadi mesin salah satu parpol yang segala tindakannya selalu membawa visi misi parpol tertentu yang memegang tampuk kekuasaan. Birokrasi tidak lagi independen dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada era reformasi ini, banyak peluang bagi birokrasi untuk bersikap netral dan hanya menjalankan tugas administratif. Birokrasi sebagai satu lembaga yang melaksanakan kebijaksanaan yang dibuat politisi, sudah saatnya dibangun dengan menganut prinsip rasional dan efisien. Dengan prinsip ini, birokrasi dapat berkembang dan tampil profesional. Terlepas dari berbagai permasalahan yang mewarnai birokrasi itu, harus diyakini bahwa untuk menjadikan birokrasi profesional itu tidak mudah. Tetapi, bagaimana ide ini harus dilakukan. Jika birokrasi tidak mereformasi dirinya untuk tampil 
Oleh karena itu, birokrasi harus mampu mereformasi diri, menjadi sosok profesional dengan pelayanan prima dan berlaku sebagai abdi negara dan masyarakat, siap atau tidak siap.
Hal lain yang juga menjadi penghambat upaya mewujudkan birokrasi yang profesional adalah adanya penyakit dalam tubuh birokrasi yang disebut patologi birokrasi. Patologi birokrasi ini yang menyebabkan imej masyarakat negatif tentang birokrasi. Menurut Siagian (1995), patologi birokrasi dapat muncul karena beberapa hal. Yaitu: persepsi dan gaya manajerial pejabat, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, tindakan birokrat yang melanggar norma hukum,  manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional, akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan. 
Patologi birokrasi ini harus dicermati untuk mewujudkan birokrasi profesional. Jika hal ini terus berlangsung, akan tercipta kondisi pemerintahan yang buruk (bad reputation of bureaucracy). 
Menurut Lord Acton (1972), Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, namun kekuasaan yang absolut pasti korup) secara implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasaannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
TEORI
 
II.1. PATOLOGI BIROKRASI
Penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan memerlukan perubahan sikap mendasar dari birokrasi itu sendiri. Patologi birokrasi terutama menunjukan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan status quo dan menghalangi adanya perubahan yang cenderung sentralistik.
Namun transformasi birokrasi itu sendiri juga tidak mudah untuk dilaksanakan, pasalnya pendekatannya sering terlalu bersifat struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Tetapi yang tidak kalah penting adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia birokrat.
Perubahan lengkap makro yang interdependen baik ditingkat lokal, nasional, dan global saat ini, sangat mempengaruhi berbagai daerah di Indonesia. Ditingkat lokal, dengan dilaksanakannya otonomi daerah, menandai pergeseran pola manajemen pemerintah dari manajemen pemerintahan yang sentralistik-eksploitatif. Kemudian di tingkat nasional, adanya perubahan besar dibidang politik, ditandai dengan pergeseran system politik dari otoritarian-bebal ke demokratik-akomodatif.
Sedangkan di tingkat regional-global, mulai efektifnya pemberlakuan AFTA yang menuntut berbagai negara untuk mulai menggeser orientasi pengelolaan kawasan dari lokal- orientation ke global-cosmopolit orientation. Berbagai perubahan besar tersebut akan memaksa berbagai pemerintah daerah di Indonesia mau tidak mau harus meninjau ulang pendekatan dan cara pandang dalam mengelola daerah. Perubahan pertama, akan memaksa berbagai untuk mentransformasi diri dari bureaucratic-monopolistic government menjadi competitive government. Perubahan kedua, mengharuskan adanya metamorfosis diri dari pemerintah yang arogan menjadi customer driven dan accountable government. Sedangkan perubahan ketiga akan mendorong daerah untuk mengevolusi diri yang memiliki lokal-orientation pemerintah yang memiliki global-cosmopolit orientation, dimana pemerintah memiliki wawasan global serta berupaya membangun kemampuan inovasi, kapabilitas operasional dan jaringan berskala global. Sehingga dibutuhkan pemimpin pemimpin yang unggul, mandiri, dan professional, serta memiliki karakter/ kemampuan seperti professional, kompetitif, interdisipliner dan berbudaya, namun tidak semata mata hanya mengandalkan pada otoritas strukturalnya.
Perubahan yang terjadi di era globalisasi serta tuntutan masyarakat yang semakin kompleks dan selalu berkembang, mengharuskan adanya peningkatan kinerja birokrasi. Untuk itu diperlukan birokrat yang mempunyai pemikiran yang berwawasan global, dan mempunyai jiwa kewirausahaan.
II.2. GEJALA PATOLOGI
Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian.
Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.
Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.
1. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme.
2. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
3. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif.
5. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
II.3. MENGEMBALIKAN CITRA AGAR GEJALA PATOLOGI TIDAK MENYEBAR
Menghadapi berbagai gejala empirik patologi dalam birokrasi, sudah saatnya diupayakan agar birokrasi memiliki ”daya tahan” yang semakin tinggi terhadap berbagai ‘penyakit’ yang menyerangnya. Berbagai perbaikan, bahkan transformasi juga diperlukan, sehingga gejala patologi yang sudah muncul tidak meluas dan bisa segera dieliminasi.
Pengembalian citra birokasi ke arah yang ideal, sudah pernah dianjurkan sebelumnya dengan sebutan yang berbeda, seperti: cew public management (Hood), market based public administration (Peters), reinventing goverment (Osborne dan Gaebler), post bureaucracy (Heckscher dan Donelon) dan rengineering management (Champy).
Di Amerika Serikat sendiri, sewaktu pemerintahan Presiden Bill Clinton, pengembalian citra birokrasi pernah dilakukan dengan mengurangi jumlah pegawai negeri di tingkat federal. Bahkan pemerintahan Clinton saat itu sangat tertarik dan mencoba mengadopsi ide David Osborne dan Ted Gaebler (1992) yang memfokuskan pada penataan kembali peran birokrasi agar dapat merangsang pertumbuhan sektor swasta dan masyarakat luas. Menurut mereka, birokrasi harus mempunyai enterpreneurial spirit yang antara lain, berupa metode baru pemanfaatan sumber daya dalam rangka memaksimalkan produktivitas dan efektivitas.
Orientasi birokrasi semestinya juga kembali diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai secara cepat, tepat dan dengan biaya yang terjangkau (ekonomis). Sehingga, kinerja birokrasi dapat mewujudkan efisiensi dan bukan sebaliknya. Semua unsur pokok birokrasi mengacu pada upaya rasional untuk mengurus organisasi secara efektif dan efisien. Unsur pokok, menurut Miftah Thoha, sedikitnya mencakup perlakuan yang sama terhadap semua orang (impersonal), pengisian jabatan atas dasar keahlian dan pengalaman, larangan penyalahgunaan jabatan, standar kerja yang jelas, sistem administrasi yang rapi, serta pengadaan dan pelaksanaan aturan bagi kepentingan organisasi dan mengikat bagi semua anggotanya.
Aparat birokrasi tidak dibenarkan melakukan partikularisme (korupsi, kolusi, nepotisme maupun primordialisme) dalam administrasi kepegawaian ataupun dalam menjalankan fungsinya sebagai public servant. Perekrutan pegawai yang sebelumnya didasarkan pada patronage system, spoil system dan nepotisme, sebaiknya segera diubah dengan merit system atau carier system sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan efisiensi dalam birokrasi.
Kontrak-kontrak kerja yang dibuat, apa pun jenisnya, harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Seperti dengan menenderkan proyek-proyek pembangunan secara terbuka dan fair agar setiap orang atau perusahaan yang berminat memiliki kesamaan peluang untuk dinilai kelayakannya dalam melaksanakan proyek itu. Dengan cara demikian, maka peluang munculnya praktik KKN dan mark up yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, akan bisa dihindari.
Upaya pemberdayaan masyarakat, melalui pembangunan infrastruktur politik yang dimaksudkan guna meningkatkan bargainning position masyarakat, termasuk agar mampu melaksanakan perannya sebagai social control terhadap tindakan-tindakan birokrasi. Orsospol, LSM, mahasiswa, dan pers hendaknya tetap diberikan kesempatan menyuarakan ”pesan moral” dan ”budaya malu” terhadap tindakan birokrat yang tercela.
II.4. DAERAH ABU-ABU (GREY AREA)
Apakah yang dimaksud dengan warna abu-abu? Warna tersebut menggambarkan secara jelas bahwa abu-abu adalah tidak sepenuhnya hitam dan juga tidak sepenuhnya putih. Kaitannya dengan pelayanan publik yaitu masih terdapatnya pelaksanaan aturan normative yang tidak secara tegas mengatakan bahwa hal tersebut adalah “hitam” atau “putih”. Tidak jelasnya kepastian mengenai jumlah biaya serta waktu yang diperlukan di dalam birokrasi pelayanan publik adalah contoh konkret isu krusial yang harus segera mendapatkan perhatian serius. Sering kita amati pola pelayanan yang diberikan birokrat kepada masyarakat dengan memanfaatkan kotak sumbangan di depan loket pelayanan dan juga secara diam-diam memberikan “hak-hak istimewa” (privilege) bagi kerabat atau bagi yang memberikan salam tempel/amplop.
Manifestasinya bisa dalam bentuk calo. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dalam dunia pelayanan publik di Indonesia. Dan anehnya masyarakat seperti tersihir dan telah menjadi maklum akan adanya praktik yang menyimpang dari aturan ini. Budaya seperti ini dikarenakan birokrasi di Indonesia merupakan warisan birokrasi kerajaan dimana rakyat diharuskan untuk mengirim upeti di dalam memenuhi kepentingan sang penguasa. Hanya kaum bangsawan dan priyayi-lah yang bisa menjadi bikrokrat.Birokrasi sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan kekuasaan, yakni raja.
Yang menjadi pertanyaan sekarang ini, kenapa budaya seperti itu masih dengan setianya melekat baik di dalam aparatur negara maupun masyarakat? Adakah gebrakan yang berani dari dalam birokrasi sendiri untuk merubah imej pelayanan publik menjadi lebih baik? Katakanlah seorang warga masyarakat hendak mewujudkan keidealisannya dengan membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang akan didapat bukanlah pelayan prima melainkan waktu yang lama dalam proses penyelesaiannya dan itupun dikerjakan dengan seenaknya sendiri (leda-lede). Dan kalaupun si pelanggan ini hendak membayar uang “sukarela”, akan terjadi kebimbangan yang tidak mendasar disebabkan apabila sumbangan “sukarela” sedikit jumlahnya, yang akan didapat sebuah gerutuan yang tidak menyejukkan hati.
Sebaliknya apabila uang sumbangan terlalu besar, yang akan didapat adalah konflik batin di dalam hati si warga itu sendiri. Dengan kata lain, hak-hak pelanggan selalu termarjinalkan. Dari sinilah sebenarnya benih-benih KKN subur menjamur tak mengenal musim. Di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 memuat sendi-sendi pelayanan yang harus dicakup dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia, antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu.
Dengan aturan yang baku tersebut secara ideal pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi para pelaksana pelayanan publik untuk memposisikan mereka sebagai superior terhadap pengguna jasa layanan. Seorang pelanggan justru merupakan raja dan wajib diperlakukan selayaknya sebagai seorang raja.
II.5. LANGKAH STRATEGIS MENCEGAH PATOLOGI BIROKRASI
Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula) secara implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN. Sehingga langkah strategis pertama yang harus diambil adalah menempatkan para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa berkecimpung di dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty). Baik itu rotasi horisontal ataupun promosi vertikal.
Langkah strategis yang kedua adalah dengan sedini mungkin mengenalkan teknologi informasi di lingkungan Pemerintah. Yang pertama dengan menghindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan pelayan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak langsung dengan uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang itu untuk mengadakan KKN. Walaupun katakanlah sudah secara ekspilist diterangkan biaya serta waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses pelayanan, akan tetapi praktek di lapangan akan berbicara lain. Hal seperti ini dapat disiasati dengan menyediakan mesin.
Contoh konkret yang mungkin bisa diaplikasikan adalah dengan pengadaan mesin pencetak perangko ataupun kupon sebagai pengganti uang tunai (stamp vending machine) seperti yang telah dilaksanakan di Jepang. Maksudnya, setiap formulir aplikasi permohonan pelayanan hanya butuh sehelai “perangko” ataupun “kupon” bertuliskan besaran biaya yang dibutuhkan untuk proses penyelesaiannya. Hal ini akan membawa konsekuensi bahwa seseorang yang bertugas melayani pelanggan tidak akan disibukkan atau direpotkan dengan urusan uang tunai di sekitar loket mereka. Mereka hanya akan berkonsentrasi di seputaran urusan administrasi persuratan saja, tidak ada yang lain. Hal ini cukup efektif dalam menekan angka kolusi di Jepang yang biasa disebut dalam ungkapan shuden no shita (lengan baju bawah baju kimono). Dampak seperti inilah diharapkan dapat menekan angka KKN di dalam proses birikrasi pelayanan publik kita khususnya di Pemerintah Kabupaten Sleman.
Cara lain dapat berupa transfer uang di bank dengan sistem online dengan mengadakan kerjasama antara pihak penyedia layanan (Pemerintah Daerah) dengan pihak bank. Yang kedua, ditinjau dari sudut pandang pengguna jasa pelayanan, yaitu dengan memperkenalkan budaya antri yang tersistematis melalui pengadaan mesin antri (queuing machine). Kenapa budaya antri? Karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum menganggap antri sebagai pola atau gaya hidup yang efektif. Sistem ini telah banyak diaplikasikan di instansi-instansi swasta dan hasilnya-pun cukup efektif untuk menciptakan suasana yang tertib dan kondusif.
Kemudian berkenaan dari pihak birokrat sendiri sebagai penyedia monopoli pelayanan publik, sebagai wujud pertanggungjawaban langsung (direct responsibility) kepada pengguna jasa layanan, alangkah lebih baiknya apabila di luar loket pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang bertugas pada hari itu sehingga langkah strategis ketiga ini diharapkan apabila terjadi ketidakpuasan pelanggan kepada penyedia jasa layanan akan langsung dapat dicatat nama petugasnya dan segera bisa ditindaklanjuti.
Ketiga langkah strategis di atas hanyalah beberapa cara di antara sekian banyak cara yang dapat ditempuh Pemerintah dalam mengeliminasi tindakan KKN yang sudah berakar di setiap lini kehidupan bangsa kita. Memang sebenarnya akar dari tindakan KKN ini tidak terlepas dari belum terpenuhinya kesejahteraan aparatur negara, kaitannya dengan pendapatan take home pay mereka. Akan tetapi, berdasarkan penelitian dari The World Bank Development Research Group Public Service Delivery (Juni, 2001) meragukan mengenai gaji kecil aparatur negara merupakan alasan untuk melakukan korupsi. Hanya disebutkan disana bahwa merubah struktur penggajian mungkin suatu bagian yang penting dalam reformasi birokrasi, tapi seharusnya jangan dilihat sebagai alat utama untuk melawan korupsi.
Kita bersyukur bahwa RUU Pelayanan Publik yang sedang digodok di DPR saat ini merupakan bentuk political will dari pihak Pemerintah dan DPR dalam mengakomodasi hak serta kewajiban baik untuk birokrat maupun masyarakat. Dan juga dengan naiknya gaji PNS mulai awal tahun depan diharapkan dapat mendongkrak semangat aparatur negara untuk lebih giat dan semangat dalam melayani publik sesuai dengan fungsi pamong prajanya.
 
 
 
 
BAB III
ISI
 
Bagaimana Pelaksanaan Patologi Birokrasi di Pemerintah Kabupaten bila di tinjau dari Sisi Teori Organisasi. Fenomena apa yang menarik dan tidak menarik di sisi patologi birokrasi. Adakah bahan pendukung fakta atau realita patologi birokrasi di Kabupaten. Dan upaya apa sajakah yang telah dilakukan untuk memecahkan  patologi birokrasi. 
Dalam era reformasi saat ini, tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik adalah sesuatu yang cukup beralasan dan tidak berlebihan, mengingat sampai sejauh ini masyarakat masih menilai bahwa kualitas pelayanan publik masih rendah serta kinerja pelayanan publik khususnya oleh pemerintah daerah masih sangat jauh dari yang diharapkan (Dwiyanto, 2002).
Pada sisi yang lain, kualitas aparatur di daerah yang berada di bawah standar, mengakibatkan kesulitan bagi pimpinan unit kerja untuk membagi tugas secara merata. Gaji rendah (alasan klasik), menyebabkan aparatur akan cari tambahan melalui kerja sampingan yang pada umumnya akan mengganggu kegiatan rutin di kantor. Selain itu, penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensinya dapat menimbulkan masalah pada manajemen kantor serta dapat mengakibatkan kegagalan pada pencapaian tujuan organisasi. Beban kerja tidak dibagi habis ke seluruh staf, sehingga ada staf yang tidak punya tugas hal ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan beban kerja yang dapat menimbulkan gangguan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Untuk itu pimpinan unit kerja harus terlebih dahulu memerincikan semua tugas dan tanggung jawab instansi sampai pada level aparatur yang paling rendah. Di sini penting dilakukannya pengelompokan tugas-tugas, sehingga dapat ditetapkan siapa akan mengerjakan apa dan kapan harus diselesaikan serta mewajibkan aparatur membuat laporan tentang hasil dan rencana kerja secara berkala, pembagian tugas ini harus diiringi dengan sanksi dan penghargaan (reward). Dalam pembagian tugas-tugas itu seharusnya dibuat secara tertulis sesuai dengan Tupoksi masing-masing unit kerja yang dilengkapi dengan prosedur atau alur kerja dari setiap bagian sampai kepada personel yang terlibat dalam melakukan setiap kegiatan.
Namun hal ini tidaklah mudah dapat dilakukan oleh semua kepala unit kerja karena masih banyak faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kinerja aparatur itu, misalnya faktor moral dan ekonomi atau rendahnya penghasilan. Meski tidak ada jaminan bahwa pendapatan ditingkatkan akan meningkatkan kinerja sebab yang paling sulit adalah mengubah kebiasaan sebagaimana sulitnya melakukan hal yang belum biasa.
Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.81/1993 tersirat sendi-sendi pelayanan yang harus dicakup dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia, antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu. Melalui aturan baku tersebut, secara ideal pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi para pelaksana pelayanan publik untuk memposisikan mereka sebagai superior terhadap pengguna jasa layanan.
 
Dari gagasan dan realita empiris mungkin ada beberapa hal yang mungkin dapat menjadi sebuah solusi untuk dijadikan bahan evaluasi pengambil kebijakan di masa datang, yakni, pertama, pada lingkungan birokrasi di beberapa daerah masih banyak terapat kasus mengenai isu daerah abu-abu (grey area) hal ini dikhawatirkan akan menjadi lahan subur patronasi dan kesempatan untuk mengembangkan moral hazard di antara PNS di pemerintahan daerah. Kedua, dalam penanganan isu-isu reformasi birokrasi pelayanan publik oleh penyedia layanan publik masih terjadi adanya monopoli oleh pemerintah daerah. Hal ini masih dirasakan adanya stagnase bahkan cenderung belum memperlihatkan perubahan yang signifikan. Artinya di setiap pelayanan publik masih dirumitkan dengan sesuatu birokrasi yang terkadang tidak rasional.
Berkaitan dengan pelayanan publik, masih terdapatnya pelaksanaan aturan normatif yang tidak secara tegas mengatakan bahwa hal tersebut adalah "hitam" atau "putih", semuanya berlangsung disamarkan. Tidak jelasnya kepastian mengenai jumlah biaya serta waktu yang diperlukan di dalam birokrasi pelayanan publik. Ini merupakan contoh kasus konkret yang harus segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
Menurut Lord Acton (1972), Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, namun kekuasaan yang absolut pasti korup) secara implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasaannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN.  
Sebagian Aktivitis pergerakan Mahasiswa, KNPI,  dan elemen ormas pada saat mengadakan Refleksi Akhir tahun perjalanan Roda Pemerintah di kabupaten  memutuskan hasil kajiannya dan memberikan penghargaan berupa “ Raport Merah”. 
Di satu sisi yang lain para organisasi masyarakat (Organisasi kepemudaan) mengatakan birokrasi Kabupaten sedang berobat jalan, maksudnya untuk menggambarkan bahwa pejabat dilingkungan Pemkab belum siap untuk berbenah diri secara menyeluruh. Kritik pedas itu menanambah perbendaharaan data bahwa pemerintahan kabupaten untuk mengurangi kelemahan dasar (the basic constraints) yang melekat pada birokrasi. Padahal keberadaan birokrasi amatlah penting untuk mensejahterakan rakyatnya. 
Fenomena praktek-praktek kurang terpuji di level pejabat. Dikutip dari laporan Transparency International tentang peringkat korupsinya terparah, temuan korupsi di daerah daerah, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang temuan 4.451 kasus penyimpangan keuangan negara dan penyimpangan-penyimpangan lainnya yang tak terlaporkan, adalah data-data empiris, yang nyata yang harus diperhatikan. 
Pengguna Anggaran dan para pelaksana kegiatan untuk tidak mengulanginya lagi pada masa yang akan datang dan mengembalikan kerugian daerah Budaya ABS ( Asal Bapak Senang ), juga sering terjadi di tingkat SKPD. Loyalitas bawahan kepada atasan memang sangat tinggi, bukan karena loyal kepada organisasi tapi lebih kepada atasannya. Salah satu realita yang jelas nampak adalah pada saat Bupati dan wakil bupati serta sekda mencalonkan diri dalam bursa Pilkada langsung. Gesekan administrasi dan kebijakan sangat tinggi. Persoalan hirarki organisasi di langgar, organisasi juga tidak di lakukan, terjadi pengkotak-kotakan, antara pejabat di lingkungan pemkab saling jegal menjegal, sesuai kubunya masing-masing. Apakah mereka pro Bupati, Pro Wakil Bupati atau Pro Sekda. Karena lawan dianggap musuh maka mereka pun saling unjuk gigi. Memanfaatkan kekuasaannya lewat disposisi surat. Sehingga kesan di lapangan betul-betul ada problem yang sangat mendasar dan secara etika birokrasi tidak patut.
Budaya Menunggu Petunjuk/arahan, realitas di lapangan dalam pembuatan Surat Keputusan Bupati tentang xxxxxx. Pengusul surat harus menunggu disposisi turun dari pimpinan dan melalui beberapa meja kekuasaan, biasanya Surat yang tidak dikawal akan tertumpuk di meja bupati bahkan ada juga kegiatan hampir selesai, baru SK pengajuan turun. Walaupun struktur pengajuan secara hirarkis, tapi kadang-kadang budaya neo klasik tetap dilakukan. Seperti contoh bila ada uang pelicin maka nota dinas atau seperti pembuatan Surat Keputusan Bupati menjadi cepat ( layanan prima tapi ada pamrihnya, dianggap insentif bekerja ( Non budgetter). 
Belum berorientasi prestasi, fakta di lapangan, karyawan yang pintar, cekatan, dan etos kerjanya tinggi biasanya di sayang pimpinan. Tapi kata sayang, sebenarnya hanya dimanfaatkan kerjanya. Banyak pegawai di lingkungan pemkab yang kerjanya malas tapi menjadi beban negara karena mendapatkan gaji PNS, padahal kerjanya tidak maksimal. Akan lebih fatal lagi bila pembagian tugas tidak adil, tidak merata, tidak tuntas dan tidak jelas batas-batas maka akan terjadi gap yang kentara. Seorang pimpinan yang melakukan tindakan seperti ini biasanya tidak disukai oleh bawahan. Rata-rata orientasi prestasi jarang dilakukan, tapi orientasi neo klasik karena proses kedekatan dan hubungan psikososial. 
Budaya Melayani Rendah. Dari sejumlah pelayanan di lingkungan Pemerintah Kabupaten rata-rata penerapkan prosedur pembayaran tidak sesuai retribusi (Perda yang ditetapkan). Para petugas berdalih biaya lain-lain untuk ganti cetak dll. Seperti contoh pelayanan akta kelahiran ( usia 0-18 tahun ) gratis, tetapi pada pelaksanaan dilapangan petugas di catatan sipil masih memungut biaya kutipan akta kelahiran antara Rp. 5.000,- s.d. 10.000,- contoh lainnya adalah KTP dan KK. Dalam hal pelayanan, suatu kewajiban pelayanan yang mestinya tanpa konpensasi apapun, terhadap warga negara) harus diselesaikan terkadang sampai 7 hari. Hal ini terjadi sebab pelayanan KTP harus melalui RT (yang apabila ia sibuk bisa menunggu sehari? di RW sehari atau dua hari dan dikelurahan bisa memakan 3 sampai 4 hari, terutama apabila kesibukan luar, kepala desa atau lurah tinggi). 
Di sisi yang lain KTP ataupun KK ini pun menjadi ajang bisnis bagi para petugas pelayanan. Walaupun pelayanan sudah di dekatkan di level kecamatan dan semua administrasi seperti blangko dan lainnya dialokasikan APBD tapi tetap budaya tambahan diluar perda tetap dilakukan. Sudah budaya tidak bisa di rubah, dan realita itu menjamur di semua unit pelayanan yang menangani seksi pelayanan. 
Belum di dukung teknologi menyeluruh. Fakta di lapangan penerapan teknologi sebagian sudah ada hingga ke level desa/kelurahan. Namun sebatas pengadaan komputer itupun dari dana Alokasi Dana Desa ( Pos Operasional Kelembagaan Desa ). Sehingga mayoritas sekarang di semua balai desa sudah ada Piranti komputer. Namun kalau sampai bisa online dengan server di pusat sementara belum bisa dilakukan. Contoh lain seperti adanya Sistem Informasi Kependudukan ( SIAK ) di kantor catatan sipil, sesuai petunjuk SIAK hingga level kecamatan dan secara online bisa ditetapkan. Namun ketika piranti komputer tersebut di operasionalkan tidak bisa menggunakan piranti tersebut. Keterbatasan modal, dan keengganan untuk mengoperasionalisasi teknologi bagi pejabat lebih dominan. Mereka tidak mau susah payah belajar teknologi. Padahal manfaat teknologi ini sangatlah besar dan mengurangi high cost yang tinggi. 
Jumlah pegawai relatif besar, kurang bermutu dan asal jadi. Fakta ini dapat dilihat pada prosesi CPNS. Dimana yang diprioritaskan adalah karena pengabdian yang lama tetapi bukan pada spesialisasi bidangnya. Banyak pejabat yang ditempatkan tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Seperti contoh Jabatan Kepala Kantor Peternakan di pimpin oleh lulusan sarjana hukum. Sisi yang lain pada saat pengangkatan pegawai (mutasi) tidak menggunakan mekanisme jenjang. Kadang-kadang Bupati dengan kekuasaannya melakukan mutasi karena politik balas budi, dan mereka yang dulunya mendukung politisi ( Calon Bupati ) yang tidak jadi kena imbasnya di pindahkan ke tempat yang tidak sesuai dengan spesialisasi pekerjaannya. 
Begitu beragam kritikan tajam kepada birokrasi seakan-akan kebaikan dan manfaat birokrasi sebagaimana dimaksudkan oleh sang pengenal Max Webber kalah dengan patologinya, yaitu penyimpangan-penyimpangan dalam praktek penyelenggaraan sehari-hari, padahal pada awalnya birokrasi diciptakan guna ingin mencapai idealitas-idealitas penyelenggaraan pemerintahan. 
Kelemahan birokrasi tidak hanya pada tataran strukturnya yang rigid, namun juga memiliki kelemahan proses, approach dan kelemahan personel, oleh sebab itu orang sangat sulit memulai darimana dan oleh siapa pembenahan musti dimulai, sebab ketika suatu elemen birokrasi atau unsur non pemerintahan melakukan pembenahan karena besarnya arus praktek yang berlangsung terus menerus, elemen pelaku pembenahan itu akan terdistorsi oleh kuatnya arus yang berjalan secara menyeluruh itu.
Agar Patologi Birokrasi dapat di atasi dengan terstruktur di Pemkab maka yang harus dilakukan oleh Pemkab yaitu untuk budaya melayani rendah harus melakukan pelayanan publik berkualitas, dimana pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
Adapun langkah-langkah strategis yang kiranya dapat diambil antara lain, pertama, menempatkan para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa berkecimpung di dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty). Baik itu rotasi horizontal ataupun promosi vertikal.
Langkah kedua, yakni antisipasi sedini mungkin mengenalkan teknologi informasi sehingga dapat memudahkan dalam pelayanan publik. Dan hindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan pelayan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak langsung dengan uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang itu untuk mengadakan KKN. Walaupun katakanlah sudah secara eksplisit diterangkan biaya serta waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses pelayanan, akan tetapi praktik di lapangan akan berbicara lain. Hal seperti ini dapat disiasati dengan menyediakan mesin. Yaitu setiap formulir aplikasi permohonan pelayanan hanya butuh sehelai "perangko" ataupun "kupon" bertuliskan besaran biaya yang dibutuhkan untuk proses penyelesaiannya. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa seseorang yang bertugas melayani pelanggan tidak akan disibukkan atau direpotkan dengan urusan uang tunai di sekitar loket mereka. Mereka hanya akan berkonsentrasi di seputaran urusan administrasi persuratan saja, tidak ada yang lain. Cara lain dapat berupa transfer uang di bank dengan sistem online dengan mengadakan kerja sama antara pihak penyedia layanan (pemerintah daerah) dengan pihak bank.
Bila ditinjau dari sudut pandang pengguna jasa pelayanan, yaitu dengan memperkenalkan budaya antre yang tersistematis melalui pengadaan mesin antre (queuing machine). Kenapa budaya antre? Karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum menganggap antre sebagai pola atau gaya hidup yang efektif. Sistem ini telah banyak diaplikasikan di instansi-instansi swasta dan hasilnya-pun cukup efektif untuk menciptakan suasana yang tertib dan kondusif.
Sementara berkenaan dari pihak birokrat sendiri sebagai penyedia monopoli pelayanan publik, sebagai wujud pertanggungjawaban langsung (direct responsibility) kepada pengguna jasa layanan, alangkah lebih baiknya apabila di luar loket pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang bertugas pada hari itu untuk memudahkan apabila terjadi ketidakpuasan pelanggan kepada penyedia jasa layanan akan langsung dapat dicatat nama petugasnya dan segera bisa ditindaklanjuti.
Dengan demikian, pada saatnya nanti akan menghasilkan pembagian beban kerja yang baik dan dapat mendorong kreatifitas dan produktivitas aparatur, selain itu efektifitas kinerja aparatur akan secara bertahap dapat ditingkatkan. Dengan peningkatan efektivitas kinerja ini akan berdampak pada peningkatan pelayanan pada masyarakat dan ketepatan waktu penyelesaian pembangunan. Semoga semua ini menjadi sebuah inspirasi bagi kebijakan pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan birokrasi pelayanan publik khususnya di Pemerintah Kabupaten. 
Sisi yang lain Pemkab harus melakukan paradigma pelayanan publik sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri: (a) lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (b) lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama, (c) menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan, (e) lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat, (f) memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya, (g) lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan, (h) lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan (i) menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. 
Agar dapat memenuhi keinginan masyarakat, agar patologi birokrasi bisa di obati maka melalui pembentukan model pelayanan publik yang sesuai dengan perkembangan jaman seperti sekarang ini di mana pemerintah berada dalam era desentralisasi. Model pertama adalah model traditional bureaucratic authority. Ciri dari model ini adalah bahwa pemerintahan daerah bergerak dalam kombinasi tiga faktor yaitu : pertama, penyediaan barang dan layanan publik lebih banyak dilakukan oleh sektor publik (strong public sector). Kedua, peran pemerintah daerah sangat kuat (strong local government) karena memiliki cakupan fungsi yang luas, mode operasi yang bersifat mengarahkan, derajat otonomi yang sangat tinggi, dan tingkat kendali eksternal yang rendah. Ketiga, pengambilan keputusan dalam pemerintah daerah lebih menekankan pada demokrasi perwakilan (representative democracy).
Patologi birokrasi belum didukung teknologi menyeluruh maka perlu ditetapkan sistem teknologi yang Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan yang lebih terbuka, serta perkembangan globalisasi yang memicu peningkatan yang lebih cepat lagi dalam kebutuhan dan tuntutan akan layanan publik, maka model birokrasi tradisional tersebut biasanya dianggap tidak lagi memadai. Untuk itu, diperlukan suatu model baru yang mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan ini. Model yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat serta merespon berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
Kata kuncinya adalah Pemkab harus melakukan pendekatan organisasi yang profesional, melayani kepentingan masyarakat terutama dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publiknya, seperti: (a) Model Kelembagaan, (b) Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik, (c) Model Siklus Layanan (Momment of Truth), dan (d) Model Standar Pelayanan Minimal. Model-model ini dimaksudkan agar permasalahan pelayanan publik dapat dilakukan dengan baik dan tidak adanya gap-gap.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat hal-hal perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1. Patologi Birokrasi harus diobati dengan Aturan, System dan Komitmen pengelolaan yang berorientasi "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
2. Penguatan kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini ditujukan pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang berbasis pada pelayanan administrasi dokumen.
3. Peningkatan kualitas pelayanan publik diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya.
4. Selain kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga dipengaruhi oleh aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh dan waktu.
5. Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta.
Suprijadi, Anwar 2004. Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 Juli 2004. di Jakarta.
Suhadi Mukhlis, 2005 “ Bahan Ajar Teori Organisasi Publik dan Organisasi Manajemen Pemerintahan, Tanjung Pinang.